IDI Wilayah se-Kalimantan Minta Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan

IDI Wilayah se-Kalimantan Minta Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan

BANJARMASIN - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Regional Kalimantan dibawah naungan Pengurus Besar (PB) IDI meminta kepada Panja Komisi IX DPR RI untuk menghentikan proses pembahasan RUU kesehatan (Omnibus Law) dan tidak terburu-buru melanjutkan ke dalam Pembahasan Tingkat II. 

RUU kesehatan (Omnibus Law) yang saat ini sedang dalam proses pembahasan Panja Komisi IX DPR RI, dinilai berpotensi menimbulkan kontradiktif. Hal ini dikarenakan masih banyak batang tubuh atau Pasal yang saling bertentangan satu dengan yang lain, dan tidak selaras dengan naskah akademiknya walaupun telah dilakukan kegiatan penyusunan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dan menjaring partisipasi masyarakat oleh Pemerintah (Kementerian Kesehatan). 

Jika RUU Kesehatan tersebut disahkan, maka akan berpotensi menimbulkan protes dari berbagai elemen masyarakat sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan, terutama tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia. 

Ketua IDI Kalsel, dr. Sigit Prasetia Kurniawan Sp PD KHOM, FINASIM mengatakan, sebagai seorang tenaga medis dan akademisi, pihaknya telah melakukan kajian berdasarkan kajian ilmiah yang dilandasi nilai-nilai intelektual dengan melihat bagaimana landasan-landasan perspektifnya.

"Kita melakukan kajian ini atas dasar intelektual, bukan bernada provokatif. Sebagai seorang dokter dan akademisi, kita harus berfikir positif. Jadi kita memberi masukan kepada anggota Dewan, tentang berbagai hal yang perlu perbaikan dan kajian lebih dalam terhadap rancangan UU kesehatan ini. Sehingga kalau memang rumusan ini diputuskan, nanti memberikan manfaat bagi keseluruhan," ucapnya di sela acara Seminar Rekonstruksi Kajian RUU Kesehatan bersama IDI Regional Kalimantan di Fakultas Kedokteran ULM, Sabtu (17/4/2023) malam. 

Rancangan Undang Undang Kesehatan (Omnibus Law) ini, ditambahkan dr Sigit, secara filosofis yuridis dan sosiologis ternyata tidak jauh lebih baik dari Undang-Undang Keprofesian yang sudah ada sebelumnya yang selama ini sudah harmonis walaupun terdapat kekurangan sedikit didalamnya. Kondisi tersebut sebenarnya mampu diatasi dengan regulasi lain dibawah Undang-Undang, sehingga tidak harus lahir RUU Kesehatan dengan metode omnibus law ini. 

"Saat ini melihat berbagai kemungkinan yang ada didalam pasal atau batang tubuh RUU kesehatan itu, masih ada yang belum selaras. Ada juga pasal-pasal yang sudah bagus dalam Undang-undang sebelumnya, ternyata setelah dilebur saat ini, ada yang dihilangkan esensinya. Sehingga menjadi kurang nilainya," tambahnya.

Salah satu pasal penting dalam RUU Kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum tenaga medis dan tenaga kesehatan. 

Perlu adanya penjabaran norma konkrit dalam Pasal 312 RUU Kesehatan sebagai penjabaran norma abstrak yang terdapat dalam Pasal 282 ayat 1 huruf a, dalam hal Jaminan Perlindungan bagi Tenaga Medis dan Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi nya yang dilandasi oleh Sumpah Profesi dan Etika. 

IDI mengusulkan agar pada Pasal 312 redaksionalnya diubah menjadi "Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesi nya dengan itikad baik dan dilaksanakan sesuai etika, standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional". 

"Dengan penegasan norma konkrit pada Pasal 312 RUU kesehatan, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan memiliki kepastian jaminan perlindungan hukum (Immunity Right) dalam menjalankan tugas mulianya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi Rakyat Indonesia," lanjutnya lagi.

Selain itu Pasal 1 ayat 37 tentang Organisasi Profesi, IDI mengusulkan agar pasal tersebut tetap ada dan dipertahankan dalam RUU Kesehatan. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang seprofesi berdasarkan kesamaan keahlian, aspirasi, kehendak, etika profesi, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan. 

Organisasi profesi diperlukan untuk dapat memproteksi dan mendidik para
anggotanya yang terikat pada etika, profesionalisme dan standar pelayanan profesi.

Sementara itu, masih ada beberapa pasal di RUU kesehatan (Omnibus Law) yang juga diusulkan oleh IDI untuk diubah, seperti Pasal tentang Kolegium, Konsil Kedokteran Indonesia, STR, Rekam medis, Penegakan Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Penyelesaian perselisihan hingga ketentuan pidana, dengan tujuan untuk memperkuat sistem kesehatan di Indonesia. 

"IDI sebagai organisasi profesi tunggal Dokter Indonesia dan representasi seluruh Dokter Indonesia, berupaya memberikan masukan terbaik terhadap berbagai pasal kontradiktif yang berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan yang terdapat dalam RUU kesehatan (Omnibus Law), dimana dalam proses pembahasan ini DPR RI membuka ruang untuk mendengarkan dan menyerap aspirasi berbagai elemen," pungkasnya.[dirga]

Lebih baru Lebih lama