Gandeng Mahasiswa dan Pospera, Presidium PENA 98 gelar Diskusi Refleksi 25 Tahun Reformasi

Gandeng Mahasiswa dan Pospera, Presidium PENA 98 gelar Diskusi Refleksi 25 Tahun Reformasi

BANJARMASIN - Presidium Persatuan Nasional Aktivis (PENA) 98 bersama DPD POSPERA, Dewan Mahasiswa (Dema) POSPERA dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalsel menggelar diskusi refleksi 25 tahun reformasi, Senin (8/5/2023). 

Mengusung Tema "Menolak Calon Pemimpin Pelanggar HAM", kegiatan tersebut dihelat di gedung dakwah Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan (Unukase).

Dalam diskusi tersebut, mantan Komisioner Komnas HAM 2017-2022, Hairansyah mengatakan, salah satu tuntutan dan agenda reformasi adalah Penegakan Supremasi Hukum di mana hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul keatas. Menurutnya, ada indikasi para petinggi negara seakan kebal dari hukum dan banyak terjadi pelanggaran HAM. 

"Kalau saat ini, penegakan hukum sudah dilakukan tetapi masih belum memberikan rasa keadilan. Saat ini Pemerintah berupaya menuntaskan beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM melalui mekanisme Non Yudisial," ucapnya di sela acara. 

Menurutnya, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan temuan Komnas HAM, yaitu Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999.

"Di samping itu, juga Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua 2003; Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003 yang akan di selesaikan melalui mekanisme Non Yudisial," tambah Hairansyah.

Dalam konteks penegakan supremasi hukum dan penuntasan atas kasus-kasus pelanggaran HAM ini, Hairansyah juga menekankan bahwa Keadilan dan kebenaran menjadi bagian penting dalam proses demokrasi ke depannya.

Sementara itu, salah satu narasumber Berry Nahdian Furqan menyampaikan bahwa pihaknya menghargai upaya yang telah dilakukan negara untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu. 

Kendati begitu, dirinya juga mengingatkan bahwa jangan sampai negara lupa pada hal-lain yang juga tidak kalah penting, yaitu pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku serta pelurusan sejarah.

Secara tegas, Berry yang juga merupakan presidium  (PENA) 98 menolak calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) yang memiliki rekam jejak sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM) serta melakukan politik identitas.

"Kami tidak mendukung capres maupun cawapres yang melakukan pelanggar HAM di masa lalu,” kata mantan wakil bupati Hulu Sungai Tengah tersebut.

Dalam Pilpres 2024 nanti, kata Berry, pihaknya mengajak warga agar bijak dalam menentukan pilihan. Termasuk, yang tidak memiliki rekam jejak sebagai pelanggar HAM dan tidak terlibat dalam politik identitas.

Menurut Berry, Persatuan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) menyatakan ada delapan kriteria untuk menentukan capres 2024. Hal ini dianggap penting, melebihi dari tingkat popularitas hasil survei. Kriteria tersebut berhasil dikumpulkan melalui diskusi panjang yang disertai riset di berbagai daerah, dengan kesadaran pada arah dan tujuan untuk indonesia menjadi negara yang demokratis, modern dan berlaku adil tanpa diskriminasi.

"Kriteria yang tersebut tidak mendasar pada hal yang bersifat subjektif. Tidak mendasar pada hal suka dan tidak suka pada pribadi seseorang, maupun keberpihakan pada satu, dua orang ataupun kelompok," tandasnya.

Delapan kriteria tersebut, disusun berdasarkan harapan-harapan agar hal-hal buruk yang pernah dilewati bangsa ini tidak lagi terulang di masa depan.

“Sebagai bagian dari Aktivis 98, maka kami punya kewajiban moral, intelektual dan sejarah untuk memastikan arah perjuangan reformasi tetap berjalan walaupun mungkin dalam prakteknya tidak atau belum sempurna," tuturnya.

“Pilpres bukanlah Indonesian Idol, Pilpres bukan sekedar memilih idola, tapi memilih pemimpin yang sanggup memastikan 14.700 pulau, 1.340 suku dan 275 juta rakyat Indonesia tetap utuh sebagai bangsa dan menjadi sejahtera, bebas dari ketakutan, serta berjalan dengan kepala tegak di bawah bendera merah putih,” pungkasnya.

Berikut delapan kriteria capres yang diajukan oleh Pena 98:
1. Menjaga Pancasila, berpedoman pada UUD 1945, setia pada NKRI, menghormati keberagaman, dan merawat kebhinekaan;
2. Bukan bagian dari rezim Orde Baru;
3. Tidak punya rekam jejak terlibat dalam penggunaan politik identitas;
4. Tidak pernah terlibat dalam pelanggaran HAM;
5. Tidak pernah terlibat kasus korupsi;
6. Melanjutkan program kerja Presiden Joko Widodo;
7. Berkomitmen memperjuangkan agenda reformasi, menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan mewujudkan reforma agraria;
8. Berkomitmen melakukan upaya-upaya memperkuat ekonomi kerakyatan yang berkeadilan serta berpihak kepada rakyat.

Lebih baru Lebih lama