Catur, Permainan "Perang" untuk Menghindari Peperangan

Catur, Permainan "Perang" untuk Menghindari Peperangan

Biji-biji catur model Iran, diperkirakan dibuat pada abad ke 12 Masehi. | Foto: Museum Seni Metropolitan New York.
 
PRABU Rahwana muram. Alengka, wilayah kekuasaannya, telah dikepung Dewa Rama dan pasukan kera. Salah seorang isteri Rahwana (dikisahkan memiliki tiga isteri) berusaha menghibur suaminya. 

Ia menciptakan sebuah permainan dengan media papan dan biji-bijian. Lewat permainan adu strategi itu, ia berharap Rahwana akan sepenuhnya mencurahkan energi dan pikiran pada papan dan biji-bijian yang tertata di depannya.

Ia ingin agar raksasa jahat yang jadi suaminya itu tidak memedulikan kepungan Rama. "Daripada nanti perang betulan, lebih aman perang pakai mainan", begitu pikirnya.

Namun upaya wanita itu gagal total. Capek beradu strategi dengan isterinya, Rahwana adu sakti melawan Rama. Bukannya menang, ia malah tewas. Sebilah panah tertancap di dadanya. 

Sang isteri sedih dan meratap. Meski jelek dan jahat, bagaimana pun Rahwana tetaplah suaminya. 

Penggalan kisah dalam kitab Bhawishya Purana itu dikutip oleh Henry J Greenberg dalam bukunya, "The Anti-War Wargame: A Comprehensive Analysis of the Origins of the Game of Chess 1989-1990".

Oleh Greenberg, permainan yang dibuat oleh isteri Prabu Rahwana itu disebut "mirip dengan catur". Selain menggunakan papan dan biji-bijian, perlu dua orang untuk memainkannya.

Dalam buku setebal 294 halaman itu, Greenberg merangkum dan menelaah berbagai versi mengenai sejarah olahraga/permainan catur. 

Kisah paling terkenal yang berkaitan dengan asal muasal catur, barangkali yang beredar pada masa pemerintahan Raja Balhait. Raja beragama Islam ini punya nama lain Shahram atau Shihram. 

Ia diceritakan pernah menguasai suatu wilayah di India, di daerah muara Sungai Sindhu atau Sungai Indus, sekitar abad keenam atau tujuh Masehi. 

Sebuah permainan bernama "Chaturanga" diperkenalkan kepada Raja Balhait oleh seorang filsuf, Sassa atau Sissa. Ia merupakan putra pangeran India bernama Dhahir.

Permainan itu ternyata sangat disukai Raja Balhait. Ciri-ciri permainannya begini: menggunakan papan yang dibagi menjadi 64 kotak, dan di setiap kotak diberi biji jagung. 

(Makanya, cerita itu kemudian dikenal sebagai Legenda Biji Jagung.)

Karena sudah mendapat "memo" dari raja, berita mengenai chaturanga pun cepat menyebar. Permainan ini menjadi "tren", baik di dalam maupun luar istana.

Keberadaannya bahkan mampu menggeser popularitas "asthapada", sebuah permainan papan (sejenis blackgammon) yang lebih dulu berkembang di tanah Hindustan.

Alat permainan mirip papan dan biji catur, yang ditemukan di daerah aliran sungai Indus, antara India dan Pakistan. | Foto: Harsh Mishra

KEBANYAKAN sejarawan dan arkeolog berpendapat, catur diperkirakan memang berasal dari India. Namun soal kapan awal mulanya, belum ada titik temu sampai sekarang.

Hanon Russell, pengamat dari forum catur online Chess Cafe, mengatakan, sebelum abad kedelapan atau sembilan Masehi, samasekali tak ada bukti bahwa catur sudah ada di Eropa. 

"Permainan ini diperkirakan berasal dari India sekitar 1.500 tahun silam", kata Russell, sebagaimana dikutip situs berita ABCNews.

Ia meragukan klaim yang menyebut bahwa catur lebih dulu hadir di Eropa (era kekaisaran Romawi) ketimbang India. 

Klaim itu muncul, terutama setelah penemuan benda mirip bidak catur di daerah Butrint, Albania, pada Agustus 2002. 

Benda itu ditemukan bersamaan dengan penggalian sebuah istana abad kelima Masehi di kawasan tersebut.

John Mitchell, profesor di bidang seni, arsitektur dan budaya Eropa dari Universitas East Anglia, Norwich, Inggris, berpendapat, permainan catur mungkin sudah masuk Eropa, 500 tahun lebih awal dari yang selama ini diperkirakan.

"Berasal dari India kira-kira abad ketiga sebelum Masehi, kemudian masuk Timur Tengah dan Eropa melalui wilayah Romawi di Yunani, lalu naik ke Mediterania, ke Konstantinopel, terus ke Albania", terang Mitchell.

Baik Russell maupun Mitchell sepakat, catur diduga datang dari India. Keduanya, juga para ahli lainnya, hanya berbeda pandangan soal waktu.[sahrudin]
Lebih baru Lebih lama