PELAIHARI - Kader HMI Cabang (P) Tanah Laut, Diah Ayu Fatimah, secara tajam menanggapi hilangnya beban domestik perempuan dalam statistik resmi negara. Hal ini disampaikannya dalam agenda Latihan Khusus Kohati (LKK) Tingkat Nasional yang digelar di Balai Latihan Kerja Pelaihari, Sabtu (20/12/2025).
Diah menilai ada ketidakadilan yang disembunyikan di balik gemerlap angka Produk Domestik Bruto (PDB) yang dipamerkan pemerintah, di mana kerja keras perempuan di ranah domestik dianggap tidak bernilai secara ekonomi.
Menggugat Label "Tidak Bekerja"
DIAH menanggapi fenomena di mana jutaan perempuan yang bekerja belasan jam sehari justru dicatat dengan label pengangguran oleh negara.
"Di mata negara, perempuan yang mendedikasikan hidupnya di ranah domestik sering kali dicatat dengan label yang menyakitkan: 'Tidak Bekerja'. Narasi ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan sebuah bentuk pengabaian sistematis terhadap pondasi paling dasar yang menjaga stabilitas ekonomi sebuah bangsa," tegas Diah Ayu Fatimah.
Analisis Buta Ekonomi dan Ketidakadilan Gender
IA juga menanggapi bagaimana sistem ekonomi konvensional hanya menghargai sesuatu yang ditukarkan dengan upah. Hal ini membuat kerja perawatan (care work) dianggap sebagai kewajiban alami tanpa perlindungan sosial.
"Sistem kapitalisme global lebih memilih untuk 'menikmati' tenaga kerja gratis ini agar biaya reproduksi sosial tetap rendah. Tanpa adanya pengakuan dalam statistik, perempuan mengalami kemiskinan waktu (time poverty). Mereka bekerja lebih lama daripada laki-laki, namun memiliki waktu paling sedikit untuk pengembangan diri," ungkapnya.
Menuntut Reformasi Kebijakan Nasional
MENANGGAPI siklus eksploitasi yang terus berulang, Diah mendesak pemerintah untuk segera menerapkan Time Use Survey (Survei Penggunaan Waktu). Menurutnya, pengakuan statistik adalah langkah awal menuju transformasi sosial yang adil.
"Menghargai kerja domestik bukan berarti melakukan 'komersialisasi kasih sayang', melainkan memberikan keadilan dan martabat kepada mereka yang selama ini menjadi tulang punggung peradaban namun dipaksa tetap berada dalam bayang-bayang," lanjut Diah.
Peringatan bagi Otoritas Negara
SEBAGAI penutup, ia memperingatkan bahwa tanpa perubahan struktur, kemajuan ekonomi Indonesia hanyalah sebuah kepalsuan yang berdiri di atas penderitaan perempuan.
"Jika kita terus abai, maka pertumbuhan ekonomi yang kita banggakan hanyalah sebuah ilusi yang berdiri di atas ketidakadilan yang disembunyikan. Perubahan hanya akan terjadi jika kita memiliki kesadaran untuk mengubah struktur yang menindas," tutupnya mengakhiri tanggapan tersebut.[lastri]
Tags
humaniora
